Rayman Ori-GUILT!

Rayman Origins? More like Rayman Ori-GUILT! Amirite? Let me elaborate...

I'd downloaded Rayman Origins after reading so many gamer news outlets singing praises about the series return to simple, almost ingeniously so, platforming elements. Something hinted at not-so-subtly in the game's title. Of course I did my research on the subject -- well on this title in particular since I'm no huge fan of Rayman -- and everything was right up my alley. Naturally, all this hype actually meant that all the pieces were in place for me to be gloriously let down.

This isn't the first time that's happened in recent memory, mind you. The Raid, an Indonesian indie flick which has critics out west foaming at the mouth, throwing comparisons to Ong Bak and Die Hard, didn't live up to my expectations. Of course, I did ruin that by watching trailers and clips of the movie and reading dozens of reviews on the subject. In the case of Rayman Origins, I had only been exposed to still images (oh those beautiful screenshots) and all I knew going in was that this was a classic platformer in the vein of Super Meat Boy or Super Mario that looked beautiful. I was right on all counts but for some reason I expected more.

Mass Effect 3

Having never played any of the previous titles in the acclaimed Mass Effect series gave me a unique opportunity to view the trilogy without any personal stake in the plot. Just 15 minutes into the third of the series, the aptly named Mass Effect 3, and I began to realize I've been missing out on an epic tale.

This isn't my first experience with a Bioware game, though it is my first positive one. Having previously been disappointed by Dragon Age: Origins, a title that got almost universally positive reviews, I was doubtful that I could enjoy Mass Effect 3, a game that by all accounts is a sci-fi Dragon Age. And by my own experience this is mostly true: both center around a single hub, both have arbitrary dialogue options, both suffer from inconsistent writing. Consequently, I've decided to make this post not just as a declaration of love for Mass Effect 3, but also as a means of discovering what it is exactly that I loved about it despite it playing so similarly to a game that I despise.

One of the more obvious points in favor of Mass Effect 3 was the soul of the storytelling, and essentially the work that Bioware went to to ensure that Shepard was more than an doll avatar for the player. Sure, there were more character customization options in Dragon Age, but ultimately any character you made was essentially a dummy. The player seemed so disconnected from his character that it felt like the game was rubbing the fourth-wall in my face. The lack of interesting dialogue and unique companion characters wasn't helping, either. Whereas in Dragon Age: Origins the relationships you built were entirely based on a political or survival foundation, Mass Effect 3 makes every conversation you have with your companions so personal. As a result almost every character is more than a 2-dimensional caricature but a completely fleshed-out person with an entire back-story that is, more often than not, worth discovering.

Adventuring in Skyrim

 

Dunia Skyrim begitu luas, indah, unik, kadang aku merasa rugi kalau terlalu banyak menghabiskan waktu dengan menyelesaikan quest utamanya. Karena itu, tadi pagi aku memutuskan untuk menjelajahi dunia Skyrim untuk melihat hal-hal yang mungkin tidak bisa dilihat jika player hanya mengikuti misi-misi.

Dalam perjalanan saya, aku ketemu seorang (seekor?) Orc yang kelihatannya sedang menunggu sesuatu di pinggir sungai. Dunia Skyrim biasanya dunia yang hampa. Player jarang menemukan kehidupan selain tanaman iklim tundra, beberapa ekor kelinci salju, dan sekali-kali gerombolan serigala. Jadi melihat Orc ini berdiri sendiri di tengah tundra langsung membuatku curiga.
 

Aku melihatnya, dan sepertinya ia juga sudah melihatku. Karena terlanjur hilang elemen stealth, aku mengambil posisi menyerang -- sebagai character mage, posisi menyerang berarti kedua tangan aku mulai mengeluarkan percikan-percikan api -- dan langkah demi langkah aku mendekatinya. Rupanya kewaspadaan aku percuma karena Orc itu bukanlah ancaman, ia langsung mengajakku bicara.

Old Orc sedang menunggu kematian yang terhormat. Rupanya kepercayaan suku Orc ada miripnya dengan budaya Viking di daerah Skandanavia: kematian yang terhormat adalah kematian di medan perang. Karena umurnya yang sudah tua, Old Orc mencari kematian saat bertempur dan ia sedang menunggu lawan di pinggir sungai itu.

Tentu saya tidak ingin membunuhnya, walaupun sudah jelas itulah yang diinginkannya. Tapi semua usaha aku untuk mengubah pikirannya tak ada gunanya. Akhirnya Old Orc memintaku untuk mengakhiri kehidupannya.


Character aku sudah cukup mahir menggunakan magic api, jadi semuanya berakhir dalam waktu yang singkat. Akhirnya Old Orc mendapatkan kematian terhormat yang ia cari. Untuk menunjukkan hormat kepada Old Orc, aku berpikir untuk melakukan "burial at sea" yang sering kulihat di film-film. Kebetulan juga ada sungai yang bisa jadi tempat kuburannya. Jadi mayatnya aku bawa ke sungai. Aku terdiam melihatnya terbawa arus menuju.... menuju air terjun! SHIT!


Dalam sekejap, saat yang mulia berubah menjadi hinaan besar terhadap Old Orc dan budaya sukunya.

SKYRIM

Cukup satu kata saja: "Wow"

Tepat di tanggal cantik 11.11.11, sekuel terbaru dalam serial game RPG mega-massive, The Elder Scrolls, dirilis. Sudah hampir 10 bulan aku menantikan hari itu. Satu hari sebelum Hari-H aku meng-queue gamenya untuk didownload. Dan setelah satu hari full men-download tanpa jeda, aku bersama jutaan gamers di seluruh dunia akhirnya menginjak kaki di negeri Skyrim.

Walau ukuran map kali ini sama besarnya dengan Cyrodiil, itu negara maya yang menjadi tempat bertualang di Elder Scrolls 4: Oblivion, tetapi detail dalam setiap inci dalam game ini membuatnya terlihat jauh lebih besar. Ini memenuhi kebanyakan harapan aku, dan tidak jarang melebihi harapan-harapanku dari Elder Scrolls. Selamat tinggal, dunia nyata.

Galneryus - Phoenix Rising Review


Pertama-tama, sebelum saya menulis review untuk album terbarunya Galneryus saya hanya ingin mengatakan: I still miss you, Yama-B. Sang Vokalis, bagi yang belum mengetahui, memutuskan untuk meninggalkan grup power metal ini dua album yang lalu. Penggantinya, Si Ono, memang punya karakter vokal yang sangat unik -- bahkan dapat dikatakan suaranya lebih cocok dengan sound si Syu dibanding suaranya Yama-B -- tetapi bagi penggemar setia Galneryus takkan ada yang dapat menggantikan Yama-B.

Grup power metal terbesar di Jepang, Galneryus, kembali dengan sebuah album baru yang berisi lagu-lagu power metal. Sound khas Galneryus, yaitu sebuah perpaduan J-Rock dengan classic power metal a la Helloween dan Kamelot, tentu kembali juga -- tidak mengejutkan, tetap sang gitaris yang menciptakan kebanyakan lagunya -- namun ada satu hal besar yang membedakan album ini dengan album sebelumnya, Resurrection: sebuah tema yang menyatukan. Mungkin karena hal itu juga album ini dinamakan demikian, inilah resurrection yang sebenarnya. Sedangkan di album Resurrection Galneryus terdengar seperti sebuah band yang tengah mencari kekompakan lagi pasca perpisahan dengan Yama-B dan Leda, Phoenix Rising menunjukkan bahwa Galneryus is back in form.

Galneryus is Galneryus, Syu tetap fokus utama dari band ini. Bagi yang gemari album-albumnya Galernyus yang sebelumnya, atau yang senang mendengarkan permainan gitar yang virtuoso this album is right up your alley. Yang bukan penggemar berat J-Metal pun bisa menikmati beberapa lagu di album ini.

Recommended Tracks: Scars, Future Never Dies, Tear Off Your Chain, T.F.F.B.